Saturday, May 12, 2007

Alam Semesta Abad ke-20

Ada lebih banyak hal di langit dan di bumi Horatio,
daripada yang termimpikan dalam filsafatmu.
(Hamlet, Shakespeare, Babak I Adegan V)





Kutipan di atas melukiskan betapa takut dan terpananya Hamlet saat melihat arwah ayahnya dalam sandiwara Shakespeare di atas. Tetapi sesungguhnya para astronom, ahli fisika dan kosmolog, lebih sering lagi mengalami saat-saat seperti yang dialami Hamlet di atas, khususnya pada abad ke-20 ini. Sepanjang abad ini, perbatasan (frontier) alam semesta yang diketahui terus saja didorong lebih jauh, sementara pemahaman ilmiah manusia mengenai hukum-hukum fisika yang mengatur semuanya itu telah direvolusi. Di luar itu, tulis Peter Symonds (Roving Inside, Vol 2 No 3, 15/10-15/11-99), terus disempurnakannya teleskop dan instrumentasi telah menghasilkan banyak pengamatan baru, dan seraya dengan itu memunculkan tantangan segara di bidang teori.

Wahana IRAS pencari obyek kelestial baru/To Edge of The Universe
SEBAGAIMANA dalam jagad penerbangan, dalam penelitian alam semesta pun manusia membuat lompatan penting di abad ke-20. Sebelum mempelajari secara spesifik ilmu tentang alam semesta, manusia mencoba mendalami langit yang mereka lihat, tentang pergerakan benda-benda langit Bulan, bintang, dan planet-planet. Pada abad-abad sebelumnya, ihtiar ini membuahkan berbagai ilmu, seperti geometri (ilmu ukur) Pitagoras, ilmu dinamika Newton, dan kemudian pada abad ini ilmu fisika dan kosmologi (tentang asal-usul, bentuk, dan masa depan alam semesta) Einstein.

Pengetahuan manusia mengenai alam semesta ini pada abad ke-20 ditopang oleh munculnya peralatan pembantu yang ampuh, yakni teleskop. Setelah ditemukan oleh Galileo di abad ke-16, lalu diperkaya oleh penemuan Newton di abad berikutnya, teleskop dibuat makin besar dan makin canggih. Dengan Teleskop Hale di Gunung Palomar, California, AS, yang bergaris tengah lensa 500 cm, yang dibangun dan diselesaikan pada paruh pertama abad ini, manusia mengumpulkan pengetahuan di bidang cahaya bintang. (Pada tahun 1976 di Zelenchukskaya, Rusia, dibangun teleskop cermin dengan garis lebih besar dari Hale, yakni 590 cm.) Melengkapi teleskop ini adalah plat foto dan peralatan spektroskopi (untuk mempelajari spektrum cahaya bintang). Melalui analisis cahaya bintang ini dapat diketahui komposisi bahan bintang-bintang, suhu, serta laju pergerakannya.

Lalu selain membuat teleskop dengan bidang pandang sempit untuk mendapatkan informasi detil tentang satu bintang atau satu galaksi, manusia juga membuat teleskop bidang lebar, yang bisa untuk memotret hingga ribuan bintang, serta galaksi-galaksi (gugus milyaran bintang).

Tetapi sebaik-baik pengamatan di Bumi, cara ini tetap memiliki keterbatasan, yaitu menghadapi halangan atmosfer Bumi, yang dari waktu ke waktu semakin kotor. Untuk mengatasi hal ini, di abad ke-20 manusia lalu mengirim berbagai wahana observasi ke ruang angkasa. Ada satelit pengamat alam dalam gelombang infra-merah (IRAS, 1983), ada pula yang untuk mengamati pancaran ultraviolet (IUE, 1978) di langit. Selain itu juga ada yang menggunakan gelombang visual sebagaimana dilakukan oleh teleskop ruang angkasa Hubble, yang setelah diluncurkan pada tahun 1990 telah memberi banyak tambahan pengetahuan baru.

Menyusul observasi pada gelombang visual, inframerah dan ultraviolet, manusia juga kemudian memperkaya pengumpulan informasi dengan gelombang radio. Pancaran gelombang radio dari bintang ini ditemukan pada tahun 1932 oleh seorang insinyur muda Karl Jansky yang sedang mencari sumber statik dengan pesawat radio percobaan. Selain menyajikan wajah kosmos yang berbeda dengan yang disajikan oleh teleskop optik, penggunaan teleskop radio juga memungkinkan manusia meneliti bagian kosmos yang lebih jauh. Teleskop radio memungkinkan manusia menemukan sumber tenaga seperti pulsar (bintang berdenyut) dan quasar (semacam galaksi yang memancarkan gelombang radio sangat kuat), dan radiasi gelombang mikro yang merupakan jejak alam semesta purba.

Stasiun ruang angkasa AS Skylab, usaha Amerika menandingi supremasi Uni Soviet di ruang angkasa/Island in The Sky
Mencoba menjelajahi penjuru alam semesta dengan demikian menjadi salah satu ihtiar yang amat berkembang di abad ke-20. Seiring dengan ihtiar tersebut tentu saja ada ihtiar untuk lebih memahami berbagai aspek astronomi. Misalnya saja studi lebih lanjut tentang Bumi sendiri sebagai salah satu penghuni Tata Surya, Bulan, planet-planet lain, komet, asteroid, bintang-bintang, gas dan debu antarintang, galaksi, dan obyek-obyek lain. Di antara penemuan penting yang diperoleh dalam abad ini antara lain adalah penemuan planet Pluto tahun 1930, penemuan pulsar atau bintang berdenyut tahun 1967 yang memberi pemahaman baru tentang akhir riwayat bintang.

Berbicara tentang alam semesta tentu saja lebih berkaitan dengan ruang tempat semua isi semesta ini berada. Karena Alam semesta ternyata mampu menampung banyak sekali milyaran galaksi, maka membicarakan alam semesta lazimnya dimulai dengan galaksi-galaksi, kepulauan terdiri dari ratusan milyar bintang. Bicara tentang alam semesta banyak berkaitan dengan penyebaran galaksi-galaksi dan pergerakannya.

Di abad ke-20 lah manusia memperoleh pegalaman baru untuk melihat seluk-beluk galaksi sendiri (Bima Sakti) dan melihat kumpulan galaksi-galaksi lain di tempat jauh.

Istilah "jauh" ketika berbicara tentang galaksi juga perlu dijelaskan lagi, karena di sini "jauh" benar-benar sangat, sangat jauh. Bagi manusia, jarak ke Bulan yang 385.000 km sudah bisa digolongkan jauh, karena itu berarti sudah hampir 10 kali keliling Bumi. Padahal Bulan adalah benda langit terdekat, karena jarak ke Matahari sudah melompat jadi 150.000.000 km, ke planet terjauh Pluto sudah 40 kali jarak Bumi-Matahari. Itu sebabnya astronom lalu menggunakan satuan lebih besar lagi, yakni Satuan Astronomi untuk jangkauan Tata Surya, dan untuk ke bintang-bintang diperkenalkan "tahun cahaya", yakni jarak yang ditempuh oleh cahaya selama satu tahun. Karena setiap detiknya cahaya menempuh jarak 300.000 km, maka dalam setahun jarak yang ditempuh cahaya adalah hampir 9.500.000.000.000 km.

Diterapkan untuk bintang terdekat saja, yakni Alpha Centauri, yang berjarak 4,3 tahun cahaya, angka itu sudah panjang untuk menuliskannya. Padahal galaksi terdekat dengan galaksi Bima Sakti, yakni Andromeda, jaraknya 2.000.000 tahun cahaya. Cobalah iseng-iseng Anda tuliskan jarak tersebut dalam satuan kilometer.

Dengan sarana pengamatan lebih canggih, para ahli dapat mengamati galaksi-galaksi yang lebih jauh dibandingkan Andromeda. Oleh Edwin Hubble pada tahun 1920-an ditemukan pula, bahwa galaksi-galaksi yang jauh ini juga bergerak menjauhi Bima Sakti, dan makin jauh galaksi tersebut makin cepat pula gerak menjauhnya. Dari sini, Hubble kemudian menyimpulkan alam semesta yang terdiri dari ratusan juta galaksi ini memuai ke segala arah dengan seragam. Misalnya saja, kelompok galaksi redup di daerah Hydra yang berjarak 3,3 milyar tahun cahaya, menjauh dari Bima Sakti dengan laju 60.000 km per detiknya, atau seperlima kecepatan cahaya.

Dibantu dengan peralatan astronomi radio yang mampu melihat daerah di langit yang lebih jauh lagi, Rudolph Minkowski menemukan galaksi radio 3C295 yang meminjam istilah David Bergamini dalam bukunya The Universe (Time-Life, 1979) "melarikan diri" dari Bima Sakti dengan kecepatan sepertiga kecepatan cahaya. Laju lari galaksi lain yang berada pada batas daya tangkap teleskop radio diperkirakan 9/10 kecepatan cahaya atau 270.000 km per detik. Kalau sampai laju menjauh galaksi tersebut mencapai kecepatan cahaya, maka galaksi tersebut tidak akan dapat terlihat.

Oleh sebab itu, sebagian besar alam semesta yang sejauh-jauhnya dapat dilihat oleh manusia di Bumi, tampaknya sudah dalam jangkauan teleskop optik dan teleskop radio. Teorinya, kalau manusia memang akan memecahkan teka-teki alam semesta, mestinya hal itu dapat dilakukan segera.

Tetapi sebelumnya, dari fakta di atas lalu muncul dua pertanyaan pokok: Pertama, sudah berapa lama alam semesta memuai? Kedua, apakah ia akan terus memuai?

Bila galaksi-galaksi yang paling jauh yang bisa diamati secara optis maupun radio dijadikan sebagai ukuran, maka jangka waktu yang diperlukan untuk berlari keluar dari asal mulanya berupa bola kabut bahan padat adalah 18 milyar tahun. Pengukuran masa datang mungkin akan memberi angka lebih besar, tetapi diduga tidak akan terlalu banyak. Untuk pertanyaan kedua, sebagian jawaban menyebutkan, alam semesta memuai secara seragam, seperti titik-titik berjarak sama pada permukaan balon yang ditiup. Di sini, ruang antargalaksi lah yang melebar, sedang galaksinya sendiri tetap pada tempatnya.

Kenyataan lain bahwa apa yang disebut sebagai "tepi" alam semesta belum ditemukan memperlihatkan, bahwa alam semesta tidak lah sesederhana seperti dilukiskan dalam tiupan gas yang memuai seragam tadi.

Hanya saja, apa yang ditemukan oleh Hubble di atas telah dipakai untuk memajukan teori asal-usul alam semesta. Pada dekade 1940-an dikenal dua teori. Yang pertama adalah teori "Dentuman Besar" (Big Bang), dan kedua teori "Keadaan Tetap" (Steady State).

Dentuman Besar, sebagaimana banyak disampaikan oleh ahli fisika Amerika kelahiran Rusia George Gamow, menyarankan, bahwa seluruh bahan dan tenaga di alam semesta pernah tergabung dalam satu bola padat raksasa. Bola terdiri dari netron dan tenaga pancaran ini dinamai "Ylem (dibaca "ailem"). Sekitar 18 milyar tahun silam, ylem ini tiba-tiba meledak dalam satu dentuman besar. Materi tersebar ke dalam ruang maha luas, dan berikutnya setelah suhu dan tekanan turun membentuk material pembentuk bintang dan galaksi.

Teori Keadaan Tetap diajukan ahli kosmologi seperti Fred Hoyle, Herman Bondi, dan Thomas Gold. Menurut pandangan mereka, alam semesta tidak berawal dan tidak akan berakhir. Alam semesta kurang lebih sama, bukan hanya dimana-mana, tetapi juga pada setiap saat.

Masing-masing teori di atas punya pendukung, tetapi juga punya pengritiknya. Namun pada akhir tahun 1950-an, para pembela Keadaan Tetap agak mundur. Ini terjadi ketika para pengamat mulai mendeteksi sumber radio yang jauh. Berikutnya, di tahun 1965 dua insinyur - Arno Penzias dan Robert Wilson - secara kebetulan menemukan radiasi gelombang mikro yang berasal dari semua arah di alam semesta, siang atau pun malam. Radiasi ini disimpulkan merupakan sisa radiasi Dentuman Besar.

Selanjutnya, kalau alam semesta memuai setelah Dentuman Besar, bagaimana masa depannya? Jawabnya tergantung pada bentuk alam semesta. Dan hampir semua hipotesa tentang bentuk ini didasarkan pada dua teori relativitas Einstein.

Teori Relavtivitas Pertama, atau Reletivitas Khusus, dicetuskan Einstein tahun 1905 dan Teori Relativitas Umum pada tahun 1916. Membicarakan kedua teori ini membutuhkan ruangan lebih banyak karena ide yang tidak biasa dan perlu direnungkan seksama. Bahkan harus diakui, abstraksi teori ini demikian sulit, sehingga kebanyakan ahli matematika pun memerlukan waktu 10 tahun untuk memahaminya. Tetapi ringkasnya Einstein merombak secara radikal pemahaman orang tentang ruang dan waktu.

Salah satu konsekuensi dari teori Einstein adalah bahwa alam semesta bisa mengembang tetapi juga bisa mengempis. Bila setelah mengembang lalu satu saat mengempis, maka setelah materi memampat, satu saat ia akan meledak lagi dan mengembang lagi. Hanya saja, pada saat ini para astronom cenderung pesimis, bahwa alam semesta akan mengerut lagi. Ini disebabkan jumlah materi yang diketahui di alam semesta 10 kali terlalu kecil untuk membuat alam semesta mengerut. Berarti kecenderungan yang lebih besar adalah alam semesta akan terus mengembang.

Di tahun 1998 terbit pengamatan oleh dua grup astronom yang mengetengahkan dua pandangan yang berbeda secara radikal. (Yang pertama adalah "Supernova Cosmology Project" yang dipimpin oleh Saul Permutter di Lawrence Berkeley Lab di AS, dan yang kedua adalah "High-Z Supernova Search Team" yang dipimpin oleh Brian Schmidt dari Mount Stromlo dan Siding Spring Observatories di Australia. Kedua grup melibatkan kolaborasi riset internasional dari banyak negara, termasuk AS, Australia, Inggris, Perancis, Jerman dan Swedia, serta koordinasi pengamatan fasilitas observasi di seluruh dunia.)

Pandangan pertama menyebutkan, alam semesta bukan hanya memuai, tetapi memuai dipercepat. Sementara pandangan lain menyebutkan alam semesta "datar", tidak memuai tetapi juga tidak mengerut. Ke depan diperkirakan akan pecah lagi perdebatan seru mengingat tajamnya perbedaan hasil yang diperoleh. Meski ringkasan hasilnya mengingatkan orang pada apa yang sudah dikemukakan di dekade 1940-an, tetapi hasil terakhir di penghujung abad ke-20 ini ditopang oleh teknik pengamatan mutakhir, melibatkan ledakan dahsyat bintang raksasa (supernova).

Bila saja pandangan alam semesta terus mengembang tetap lebih unggul, maka ini ditinjau dari segi kepentingan manusia membayangkan kesuraman. Menghadapi pemekaran Matahari yang akan mengancam kehidupan Bumi dalam jangka lima milyar tahun lagi manusia masih bisa pindah ke planet lain. Tetapi boyong ke galaksi lain, jelas mustahil. Kalau ia punya pesawat ruang angkasa yang mampu melaju dengan kecepatan lebih dari kecepatan cahaya, ia perlu waktu dua juta tahun untuk sampai ke Andromeda. Jadi kalau kelak bintang-bintang yang serupa Matahari dan punya planet di Bima Sakti sudah padam, maka kehidupan yang dikenal sekarang ini pun juga sulit dibayangkan lagi eksistensinya.

Lalu apa makna adanya alam semesta ? Masuk akal pertanyaan semacam ini muncul, karena menurut teori antropik alam semesta ada artinya hanya kalau ada pengamat yang cerdas. Jadi berarti kehadiran mahluk cerdas sesungguhnya esensial dalam mengapresiasi alam semesta.

Bisa saja dikemukakan, kan selain kehidupan Bumi mungkin masih ada kehidupan lain di tata-surya bintang lain. Jadi pertanyaan lainnya, apakah ada kehidupan lain di luar yang kita kenal sekarang ini ?

Usaha telah banyak dilakukan untuk menemukan kehidupan di luar Bumi atau yang juga sering disebut ETI (Extra Terrestrial Intelligence). Sejauh ini upaya tersebut belum mendapat tanggapan dari ETI yang dimaksud.

Dengan demikian, kehidupan Bumi-lah yang sejauh ini menjadi rujukan Prinsip Antropik. Mahluk cerdas manusia yang ada di Bumi saat ini sudah dilihat sebagai bagian tak terpisahkan evolusi alam semesta. Kehidupan ini tercipta karena ada dukungan yang diberikan alam, yakni yang berwujud unsur-unsur karbon, oksigen, nitrogen, dan fosfor. Padahal kita tahu, setelah Dentuman Besar yang menandai saat penciptaan alam semesta, yang ada hanya unsur hidrogen dan helium. Ini berarti sebelum unsur-unsur lebih kompleks terbentuk, bintang harus terbentuk lebih dulu untuk membentuk unsur-unsur tersebut di dalam intinya yang dahsyat. Di penghujung riwayatnya, bintang ini meledak dan menebarkan unsur-unsur berat tersebut ke ruang angkasa.

Tetapi agar unsur-unsur tersebut bisa berkembang, harus ada keseimbangan antara tiga dari empat gaya alam yakni elektromagnetisme dan dua gaya nuklir (lemah dan kuat). Dan agar kehidupan bisa dimulai, unsur-unsur tersebut harus bisa bergabung guna membentuk asam amino kompleks pertama dan kemudian bahan kimia yang bisa menggandakan diri dalam lingkungan di mana kehidupan bisa ditopang.

Apakah semua rangkaian proses yang melahirkan kehidupan tersebut merupakan hal kebetulan ? Di sinilah kemudian para ahli kosmologi memperkenalkan Prinsip Antropik, yang sudah disinggung di atas, dengan berbagai bentuknya.

Menurut Prinsip Antropik Lemah, hanya alam semesta dengan konstruksi tepat yang bisa mengandung kehidupan cerdas. Lalu sejumlah ilmuwan lain memajukan Prinsip Antropik Kuat. Di sini, alam semesta harus memunculkan kehidupan cerdas pada satu titik dalam sejarahnya, sehingga harus memiliki sifat dan unsur yang diperlukan agar kehidupan seperti itu bisa muncul. Prinsip Antropik Final menyebutkan, bahwa karena kehidupan cerdas sudah terlanjur muncul, maka ia tidak akan pernah lenyap.

Itulah sekilas hasil kemajuan studi manusia atas alam semesta yang dicapai pada abad ke-20. Sebagaimana di bidang lain, dalam bidang kosmologi ini pun berlangsung satu proses dialektika yang kontinu. Dalam arti, satu kemajuan yang diperoleh dari pengamatan dan pengembangan teori, pada satu saat ditantang oleh hasil yang diperoleh kemudian hari.

Lepas dari sulitnya diperoleh kebenaran abadi, sesuatu yang barangkali memang tidak ada, yang rupanya lebih bermakna adalah proses menuju pemahaman lebih jauh atas segala rahasia alam. Hasil setapak demi setapak justru baik, karena itu akan melahirkan rasa penasaran dan ingin tahu, yang merupakan naluri adi kodrati manusia. Dalam hal ini, alam semesta telah menjadi guru yang sangat murah hati dengan memberi manusia teka-teki yang tak habis-habisnya.